Gerbong Khusus Wanita, sangat membantu
Pernahkah anda naik KRL di Jakarta? Dan bagaimana kesannya? Saya tertarik membuat tulisan ini karena pengalaman saya sendiri yang beberapa hari kemarin menaiki KRL Jakarta-Bogor, terutama di jam-jam berangkat dan pulang kantor.
Pertama-tama saya ingin menceritakan pengalaman saya saat naik KRL Jakarta-Bogor beberapa hari yang lalu. Saya ada rencana untuk menghabiskan weekend saya di daerah Bogor, alhasil pulang dari kantor saya langsung menuju ke stasiun Tebet untuk naik kereta ke Bogor. Memang, saya sudah menebak pasti padat karena jam pulang kantor. Saya berdua dengan teman kantor saya yang tinggal di Depok, sehingga ada barengan selama di perjalanan. Namun saya sangat terkejut melihat fakta yang terjadi didepan saya. Saya naik KRL pukul 19.00 menggunakan commuter Line Jakarta kota – Bogor dan kondisinya sangat penuh saat tiba di Stasiun Tebet. Saya rasa saya tidak akan naik KRL ini karena melihat padatnya manusia didalamnya, namun teman kantor saya bilang, bisa kok, ayo naik. Dengan sekuat tenaga saya berhasil masuk (walaupun mendempet orang lain), dan kondisi di dalam pun sangat mencengangkan mata saya. Bagaimana tidak, para wania (kebanyakan pekerja) berdiri berdempetan seperti pepes mengisi semua space kosng KRL, hingga tidak ada tempat kosong (bahkan bernapas pun harus mengadahkan kepala ke atas) Dasyat sekali pikir saya. Beruntung saya memang naik di gerbong khusus wanita, sehingga walaupun dempet depan-belakang, sama-sama perempuan. Keadaan tersebut berlangsung lebih dari setengah jam, baru setelah Stasiun Depok, kepadatan berangsur-angsur mencair.
Dari pengalaman saya susah bernapas tersebut saya ingin membuat ulasan yang sekiranya dapat menjadi referensi anda. Ada beberapa hal yang sebenarnya menjadi poin bagi manajeman KRL.
Pertama, ketegasan petugas dalam mengatur jumlah penumpang. Saya sendiri sempat syok melihat begitu banyaknya penumpang yang terangkut. Coba tebak, apa yang terlintas di pikiran saya saat tergencet di dalam KRL? “untung ini kereta, jadi tidak ada instilah ban meledak karena overload” atau “pantas saja kereta Indonesia cepat rusak, wong dipakai seperti ini!” Petugas seharusnya dapat melihat kondisi tersebut, sehingga tidak ada penumpang lagi yang naik, jika keadaan sudah padat sekali. (Memang himbauan sering terdengar, tetapi dari para pedagang asongan di sekitar kereta! Ya mana di dengar…coba petugas lebih tegas…) para penumpang (saya juga) pasti mengerti kok jika keadaan yang sangat padat.
Kedua, Melihat antusias masyarakat yang sangat tinggi dalam menggunakan moda transportasi massal ini, alangkah bijak bila memperbanyak pembuatan jalur kereta dan armadanya, sehingga semua daerah bisa dijangkau dan semakin banyak masyarakat yang akan beralih ke transportasi masal dan kemacetan pun akan berkurang. Bagaimanapun naik kereta itu kan banyak untungnya. Tidak perlu macet-macetan di jalan, karena jalur kereta ya itu, tidak ada yang bisa menghambat (kecuali memang ada masalah teknis: mesin/rel kereta) sehingga bagaimanapun naik kereta itu lebih cepat. Fakta tersebut jelas sangat menguntungkan masyarakat, tetapi jika naik kereta pun harus sekuat tenaga hanya untuk menaiki saja, pastilah masyarakat akan berpikir kembali.
Kedua hal tersebut di atas sekiranya dapat menjadi masukan (PeeR) bagi manajemen perkeretaapian Indonesia. Bukan saya menjelekkan KRL, tetapi memberi masukan. Bagaimana pun sejauh ini, KRL (Commuter Line nya) masih saya anggap lebih baik dibandingan moda transportasi lainnya. Maju Terus KRL ku…
Sumber Gambar: news.okezone.com
T.ia
5 komentar:
so...apakah kapok naik KRL? hehe...
sabar ya.,.,.! hhe., :D
ya engga lahhh...... saya tetap pecinta KRL..hahha
tetep ajah di naikin lagi tuh kereta... orang kita juga butuh wkwkwkwk
betuull...hehhe
Posting Komentar